Sabtu, 07 Agustus 2010

Paham Menyimpang di Indonesia Serta Kaitannya Dengan Masalah Pendekatan Pemikiran Ummat Di Rantau Ini

OlehKH. Ma’ruf Amin

Bagian Pertama

Pendahuluan

Apabila diperhatikan secara seksama, dunia Islam saat ini sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya kelompok-kelompok umat Islam yang melakukan distorsi dalam memahami ajaran agama. Setidaknya ada tiga kelompok yang melakukan distorsi tersebut, yakni kelompok radikalisme agama, kelompok tekstualisme, dan kelompok liberalisme agama.

Fenomena munculnya ketiga kelompok tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Bukan hanya karena faham ketiga kelompok tersebut terbukti membawa dampak buruk bagi umat Islam secara umum, namun lebih jauh dari itu pemahaman keagamaan ketiga kelompok tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari prinsip-prinsip ajaran agama.

Radikalisme agama dalam banyak kesempatan telah terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstrimisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme. Dalam konteks ini, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa akibat ulah segelintir orang Islam yang melakukan aktifitas kekerasan dengan mempergunakan simbol Islam pada kenyataannya menimbulkan kerugian bagi umat Islam pada umumnya. Dampaknya, umat Islam terstigma negatif akibat ulah segelintir orang tersebut. Praktik-praktik kekerasan yang dilakukan segelintir orang telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk memojokkan umat Islam secara umum. Padahal hakikatnya, agama Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan gerakan radikal apalagi terorisme, tidak ada satupun pesan moral Islam yang menunjukkan adanya ajaran radikalisme dan terorisme.

Tekstualisme agama juga menimbulkan dampak buruk bagi umat Islam. Kelompok ini terlalu rigid dan kaku memahami teks ajaran agama (nash) sehingga menimbulkan sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama yang berbeda dari pemahaman kelompoknya. Tekstualisme agama membawa dampak buruk pada citra umat Islam yang dipersepsikan ekslusif, kaku dan tertutup tidak bisa menerima hal-hal baru. Kelompok ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak sefaham dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan dan tidak jarang juga menimbulkan konflik di antara umat Islam.

Sedangkan liberalisme agama juga tidak kalah seriusnya berakibat buruk bagi umat Islam. Berbeda dengan kelompok tekstualisme agama yang kaku dalam menafsirkan nash, kelompok liberalisme agama menuntut kebebasan tanpa batas dalam memahami nash. Menurut kelompok ini, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menafsirkan teks-teks dalam al-quran dan as-sunnah tanpa harus mempedulikan perangkat metodologis dalam melakukan penafsiran (al-manhaj fi istinbath al-hukm). Akibatnya, tatanan metodologi dalam memahami nash yang telah dirumuskan oleh para ulama dibongkar total, sehingga tidak ada lagi aturan baku dalam memahami nash. Lanjutan dari paham liberalisme agama ini adalah munculnya pluralisme agama.



Radikalisme Agama

Radikalisme agama yang kemudian melahirkan aktivitas kekerasan dan terorisme pada umumnya merupakan respons dalam bentuk perlawanan terhadap kebijakan Amerika dan sekutunya yang dianggap merugikan kelompoknya.

Pasca runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001, Amerika memberlakukan kebijakan baru yang dinamakan “perang melawan terorisme” yang diberlakukan secara global. Ada garis tegas yang diberlakukan oleh Amerika: siapa yang mendukung kebijakan tersebut merupakan sekutu bagi Amerika, sedangkan yang menolaknya dianggap sebagai musuh. Dengan dalih perang melawan terorisme tersebut Amerika dan sekutunya memburu para aktivis muslim yang dicurigai sebagai kelompok teroris di berbagai negara, terutama negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Pelan namun pasti kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut menimbulkan stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam, terutama bagi masyarakat barat yang tidak mengenal Islam secara benar. Tertanam dalam pandangan sebagian besar masyarakat barat bahwa Islam identik dengan terorisme.

Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan “mengerasnya” sikap sekelompok umat Islam, yang kemudian mendorong mereka melakukan serangkaian pembalasan penyerangan terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya di manapun berada, termasuk di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun. Bagi kelompok ini kebijakan Amerika dan sekutunya yang mengobarkan perang global melawan terorisme dipahami sebagai perang melawan umat Islam secara global. Kelompok ini membalas kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut dengan mengobarkan perang melawan Amerika dan sekutunya dengan mengincar kepentingan-kepentingan mereka. Bagi kelompok ini, saat ini di manapun di belahan bumi ini merupakan medan perang melawan kebijakan Amerika dan sekutunya. Kelompok ini menjustifikasi aktivitasnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad melawan pihak-pihak yang memerangi umat Islam. Mereka membolehkan melakukan serangkaian pengeboman pada objek-objek yang mereka anggap sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya, di manapun objek tersebut berada, bahkan di negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun.

Justifikasi terhadap apa yang kelompok ini lakukan, yaitu dengan mengatasnamakan jihad, tidak disetujui oleh para ulama. Kelompok radikalisme agama ini memahami jihad hanya dengan arti perang (qital). Padahal, menurut para ulama, jihad juga mempunyai makna lain, misalnya upaya sungguh-sungguh dalam melakukan perbaikan. Menurut para ulama, jihad selain mempunyai makna qital (perang), juga mempunyai makna ishlah (perbaikan).

Penolakan terhadap aplikasi kebijakan Amerika dan sekutunya yang dianggap zhalim tidak dengan serta-merta membolehkan untuk melakukan pembalasan dengan jalan kekerasan yang mengarah pada terorisme. Menurut para ulama, apa yang kelompok ini lakukan tidaklah bisa dianggap sebagai jihad, karena jihad dengan pengertian perang (qital) ada syarat-syaratnya. Klaim yang disampaikan oleh para pelaku teror bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain merupakan Jihad sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam dan merupakan penyimpangan dari makna jihad. Melakukan jihad ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya harus dilakukan di wilayah perang (daar al-harb). Padahal dalam konteks Indonesia, sejak merdeka pada tahun 1945, para ulama yang merupakan bagian penting dari pendiri negara Indonesia, telah sepakat bahwa Indonesia bukanlah wilayah perang (daar al-harb) melainkan merupakan wilayah damai (daar as-shulh), wilayah aman (daar as-salam) dan wilayah dakwah (daar ad-da’wah). Bom bunuh diri yang dilakukan dalam rangka pengeboman terhadap objek yang dipahami sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya bukanlah merupakan tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah al-istisyhad), karena dilakukan bukan di daerah perang. Tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah al-istisyhad) dibolehkan hanya di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang.

Sebagian ulama juga menyatakan bahwa kewajiban jihad dalam arti qital bukanlah tujuan utama melainkan sebagai perantara (washilah). Karena itu, jika ada cara lain yang lebih memungkinkan menuju jalan hidayah maka cara itu lebih utama daripada cara jihad dengan arti perang (qital). Sebagaimana diungkapkan dalam kitab “I’anatul Thalibin” juz IV halaman 180-181:

“Kewajiban jihad merupakan washilah (perantara) bukan tujuan. Karena tujuan peperangan itu hanyalah dalam rangka memberikan hidayah (petunjuk). Dan memerangi orang kafir juga bukan tujuan sehingga apabila hidayah itu dimungkinkan dilakukan dengan pendekatan dalil tanpa melalui peperangan maka itu lebih utama.”

Dengan pengertian seperti itulah Majelis Ulama Indonesia menolak adanya upaya dari pihak-pihak tertentu yang mengidentikkan jihad dengan teror. Majelis Ulama Indonesia juga menolak adanya pemahaman bahwa perang terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya dengan mengebomnya merupakan tindakan jihad. Majelis Ulama Indonesia melalui forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2003 menetapkan fatwa tentang Terorisme, yang antara lain menyatakan: Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Sedangkan jihad mengandung dua pengertian :

1. Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
2. Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).

Dengan fatwa tersebut MUI ingin membedakan antara pengertian teror dan jihad. Terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha). Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain serta dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sedangkan jihad sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan. Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi. Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Bersambung.. (Disampaikan dalam Konvensyen Pengukuhan Aliran Ahli Sunnah Wal Jamaah (ASWJ) Sebagai Arus Perdana di Negeri Selangor, di Selangor Malaysia, pada tanggal 20 Maret 2010/al-alyubi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar